SEPUTAR TASAWUF SYAR�I
A. Meluruskan Peyimpangan
Seperti yang dapat dilihat dari uraian-uraian terdahulu bahwa tasawuf memiliki wawasan yang relatif luas, dimulai dari upaya-upaya pembersihan hati, pembentukan akhlak yang terpuji (mahmudah) sampai kepada ma�rifah dan bahkan menyatu dengan Allah, baik dalam bentuk ittihad, hulul maupun wahdat al-wujud.
Demikian pula para pengamal ajaran tasawuf (para sufi) tidak seluruhnya sama. Ada yang konsentrasinya pada pembentukan akhlak yang mulia, menjadikan diri sebagai hamba yang taat kepada-Nya di dalam seluruh aspek kehidupan dengan senantiasa berpegang teguh kepada tuntunan syari�ah ( Al-Qur�an dan Al-sunnah). Ada juga yang lebih dari itu, di mana tujuan akhir adalah bersatu dengan Tuhan baik dalam bentuk ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud.
Dalam kondisi tertentu dari kesatuan tersebut, khususnya dalam faham wahdat al-wujud bahwa alam seluruhnya diyakini sebagai Tuhan, karena itu semuanya benar, karena itu pula semua agama benar. Disamping itu, apabila telah sampai kepada tingkat kebersatuan dengan Tuhan, maka hakikat dari ajaran (ibadah) telah ditemukan dan karena itu syari�ah dianggap tidak perlu lagi.
Di samping itu, pada tingkat tertentu, para sufi sangat melebih-lebihkan seorang wali dalam kedudukan dan pengetahuannya yang terkadang sampai melebihi seorang Nabi. Mengagungkan ilmu ladunni yang diperoleh lewat ilham daripada ilmu yang diperoleh lewat proses belajar mengajar (muktasab).
Kritikan-kritikan berikut secara khusus tertuju kepada aliran atau tingkat tasawuf yang berfaham demikian, tetapi tidak menutup keungkinan bahwa kritik ini sampai kepada aliran atau tingkat yang lebih rendah, sejauh ajaran-ajaran yang akan diuraikan berikut mereka yakini dan praktekkan.
1. Syari�ah Dan Haqiqah (Hakikat)
Syari�ah, dikalangan ahli hukum Islam, diartikan sebagai seluruh ketentuan yang ada dalam Al-Qur�an dan Al-sunnah baik yang berhubungan dengan akidah, akhlak maupun perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu�amalah.
Karena syari�ah tidak saja mengatur masalah ibadah dan mu�amalah tetapi juga akidah dan akhlak, maka syari�ah adalah aturan yang meliputi seluruh sisi keidupan, baik yang lahir maupun yang batin. Jadi tidak ada pemisahan antara syari�ah dengan hakikat, sebab hakikat adalah bagian dari syari�at. Sebagai contoh, shalat adalah syari�at sekaligus hakikat, dimana shalat mesti dilakukan dengan gerakan-gerakan yang telah digarisan dengan kemestian khusyu� di dalam pelaksanaannya. Semua itu adalah ketentuan syari�ah yang telah digariskan didalam Al-Qur�an dan Al-sunnah.
Berbeda dengan itu, para sufi berpendapat bahwa syari�ah adalah kumpulan hukum praktis, yakni tuntunan-tuntunan praktis dari Al-Qur�an dan Al-sunnah tentang tara-cara pelaksanaan ibadah maupun mu�amalah. Syari�ah dalam pandangan mereka lebih identik dengan fiqh, yakni aturan-aturan yang hanya berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Rahasia-rahasia yang tersimpan atau yang tersembunyi dibalik aturan-aturan tersebutlah yang mereka namai dengan haqiqah (hakikat). Sebagai contoh, gerak-gerik shalat adalah syari�at, berhubungan dalam arti berkomunikasi dan �bersatu� dengan-Nya adalah hakikat.
Pandangan kaum sufi terhadap syari�ah dapat dikelompokkan kepada dua. Pertama, pandangan kaum sufi yang moderat (yang masih berpegang pada syari�ah). Menurut kelompo ini, syari�at dalam artian aturan-aturan lahiriyah menjadi perhatian para ahli fikih, sedangkan aspek batin (hakikat) menjadi perhatian kaum sufi. Pada bagian ini, terlihat ada pembagian tugas yang dikemukakan oleh para sufi dalam upaya membimbing umat untuk sampai kepada praktek (ajaran) yang sebenarnya (dalam pandangan mereka).
Kedua, pandangan kaum sufi yang ekstrim. Menurut kelompok ini, syari�ah hanya ditujukan kepada masyarakat awam. Ini karena keterbatasan daya pikir dan hati mereka untuk memahami makna yang tersimpan di balik syari�ah itu. Karena itu, kepada orang awam hanya dituntut untuk mengerjakan shalat lima waktu sehari semalam dengan tata-cara yang telah ditentukan. Berbeda halnya dengan kaum sufi yang ekstrim ini, mereka meyakini ada hakikat dibalik syari�ah itu. Apabila itu telah tercapai, maka syari�ah bukanlah suatu hal yang penting lagi. Sebagai contoh, hakikat shalat adalah komunikasi yang berkelanjutan (langgeng) dengan Allah. Apabila itu telah dicapai, maka shalat dalam artian syari�ah itu tidak lagi diperlukan.
Pemisahan arti syari�ah dan hakikat sekaligus dapat dilihat sebagai kritik terhadapnya dapat dilihat dari pernyataan Al-Qusyairi berikut:
�Syari�at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari�at yang tidak diperkuat dengan hakikat tidak diterima, dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan syari�at, pasti tidak menghasilkan apa-apa. Syari�at datang dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberitakan ketentuan Tuhan. Syari�at memerintahkan mengibadahi Dia, hakikat menyaksikannya pada Dia. Syari�at melakukan yang diprintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuan-Nya, kadar-Nya, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak di luar�. (Dikutip dari Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1997),h.167).
Kritikan yang lebih tajam dikemukakan oleh Ibn Al-Jauzi:
�Ini adalah perbuatan buruk, karena syari�at yang ditetapkan oleh Allah dengan hak adalah bagi kemaslahatan makhluk. Hakikat (seperti yang dikemukakan oleh orang-orang sufi) sesudahnya tidak lain hanya sebagai bisikan syaitan yang bersemayam di dalam jiwa. Dan sikap membenci para fukaha yang mereka tujukan merupakan sebesar-besar sikap zindiq�. (Dikutip dari Muhammad Al Abduh dan Thariq Abdul Halim, Koreksi bagi kaum Sufi, terj. H.A. Baharuddin dan Muslim Muslih, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h. 62).
Menurut penulis, peisahan arti syari�ah dan hakikat merupakan suatu hal yang tidak sampai menjadikan seseorang keluar dari akidah keislamannya, sejauh pemisahan tersebut tidak mengantarkan kepada pengabaian syari�ah seperti yang disebutkan di atas. Dalam hal ini yang menjadi perhatian serius adalah pengabaian syari�ah itu sendiri. Disamping, banyaknya dalil-dalil yang mewajibkan untuk tunduk kepada aturan Allah dan Rasul-Nya, pengabaian syari�ah akan melahirkan kesembrautan (ketidak tentu arahan) baik dalam ibadah maupun mu�amalah. Dengan mengatakan telah sampai kepada hakikat, seseorang akan melakukan sesuatu yang terkadang tidak sesuai dengan syari�at. Maka akan lahir berbagai pelanggaran. Pelanggaran yang berakibat buruk bagi keharmonisan sosial.
2. llmu Muktasab Dan Ladunni
Dalam tradisi ilmu Islam, secara garis besar, dikenal dua macam ilmu yaitu: ilmu muktasab dan ilmu ladunni. Yang pertama diperoleh lewat proses pembelajaran (membaca atau berguru) sedang yang kedua tidak melalui proses tersebut. Ilmu yang kedua ini adalah anugerah atau pemberian dari Allah yang masuk kedalam (diperoleh) hati karena telah terbukanya pintu ma�rifah sebagai buah dari kebersihan hati dan kedekatan dengan-Nya.
Eksistensi ilmu jenis kedua ini memang diakui keberadaannya. Quraisy Shihab dalam menafsirkan firman Allah surah Al-�alaq ayat keempat dan kelima dengan jelas mengatakan:
�Dari uraian diatas kita dapat menyatakan bahwa ayat keempat dan kelima surah Al-�alaq menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah SWT dalam mengajar manusia. Pertama melalui �pena� (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung, tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah ilmu ladunny�. (Quraisy Shihab, Tafsir Al-Qur�an Al-Karim,(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997),h.101).
Karena sikap mereka yang lebih cenderung kepada ilmu ladunni, mereka diduga tidak menaruh perhatian yang besar kepada upaya menuntut ilmu dan mereka juga diduga tidak menghargai keberadaannya (ilm al-muktasab). Persepsi ini didasarkan kepada ungkapan-ungkapan sebagia guru-guru besar sufi berikut:
Al-Busthamy mengatakan:
�Kamu menerima llmu kamu, seorang mayat dari mayat lain. Sedangkan, kami menerima ilmu kami dari Yang Hidup dan tidak mati. Ulama semisal kami menyatakan, �Hatiku menuturkan kepadaku dari Tuhanku�. Sedangkan kamu berkata, �Fulan menuturkan padaku�.�Dimana Dia?� Mereka menjawab, �telah meninggal. Juga dari Fulan�. �Di mana dia?� Mereka menjawab, �Telah Meninggal�. Junaidi berkata: �Kami tidak mengambil ajaran tasawuf dari katanya dan katanya�. Dia juga berkata: �Saya suka sekiranya sufi pemula tidak menyibukkan hatinya dengan tiga perkara. Jika tidak, maka keadaannya berubah, yaitu kerja, menuntut ilmu hadis, dan nikah. Aku mencintai sufi sekiranya tidak membaca dan tidak menulis, sehingga dapat memusatkan perhatiannya�. (Syekh Abdur Rahman Abdul Khaliq, penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf, terj. Ahmad Misbach, (Jakarta: Rabbani Press, 2001),h.53).
Al-Ghazali berkata:
�Ketahuilah bahwa keinginan para ahli Tasawuf adalah ilmu ilhamiyah, dan bukannya ilmu ta�limiyah. Oleh karenanya mereka tidak tertarik untuk mempelajari ilmu dan mempelajari buku-buku, dan membahas pendapat-pendapat merka beserta dalil-dalilnya yang ada di dalamnya�. ( Dikutip dari Simuh, op.cit., h.172-173).
Kecenderungan kepada ilmu ilham (kasyf) yang diperoleh lewat latihan-latihan rohani ini telah mendapat kritikan yang pedas dari berbagai kalangan. Ibn Al-Jauzi berkomentar terhadap pernyataan Al-Ghazali di atas:�Adalah suatu kebanggaan buat saya pada saat pernyataan di atas bersumber dari seorang faqih, karena ia tidak menyembunyikan kejelekannya dan hal itu hakikatnya merupakan petunjuk bahwa ilmu syari�ah itu luas�.
Penulis buku penyimpangan-penyimpangan tasawuf dengan tegas mengatakan:
�Bahwa mujahadah dan sabar seberapapun besarnya tidak akan mengajarkan manusia ayat-ayat nasikh dan mansukh, muhkam atau mutasyabih dari Kalam Allah. Melainkan harus dengan belajar, karena Rasulullah saw. Bersabda, �Ilmu itu dicapai hanya dengan belajar.� Nabi tidak mengatakan bahwa ilmu tidak dicapai dengan sabar. Benar kiranya perihal Allah memberi taufik kepada orang yang mengamalkan ilmunya dan menegakkan ketakwaannya menuju hidayah dan ilmu, dengan mempermudah sebab-sebab ilmu baru baginya. (Syekh Abdur Rahman Abdul Khaliq, op.cit., h.45-46.)
Mengenai firman Allah,�Dan Allah mengajarmu. Allah mengetahui segala sesuatu.�Al-Baqarah:282), ia mengatakan :
�Ayat ini adalah penutup ayat terpanjang dalam Kitab Allah yang berkenaan dengan perkara utang, pencatatan dan kesaksiannya. Belajar yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah mempelajari apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Secara nalar dan syari�at, mustahil seseorang mengetahui sesuatu dengan cara sabar atau puasa misalnya, tanpa mengetahui sarana yang dapat mengantarkan kepada pengetahuan. Ilmu syari�at dan ilmu duniawi dicapai dengan belajar. Tidak ada ilmu yang diberikan dengan cara sabar dan mujahadat semata�. (Ibid.,h.46)
Bagaimanapun, dalam hal ini terjadi polemik. Ibn al-jauzi, meskipun pernah mengkritik kaum sufi, misalnya, mengakui bahwa ulama-ulama sufi terkemuka adalah orang-orang yang ahli di dalam berbagai disiplin ilmu agama seperti: Al-qur�an, tafsir, hadis dan fiqh. Menurutnya, yang melakukan pelarangan atau pencelaan terhadap aktifitas menuntut ilmu hanya dilakukan oleh sekelompok dari kaum sufi.
Penelitia kontemporer memandang bahwa dalil terkuat untuk memperjelas sikap para sufi terhadap ilmu adalah realitas ilmiah, di mana kebanyakan dari syaikh-syaikh atau guru-guru besar kaum sufi mencapai tingkatan tinggi di dalam penguasaan berbagai disiplin ilmu. (Abdul Halim Madkur, Abu Thalib al-Makki wa Manhajuh ash-Shufi. (Risalah magister pada Universitas Daral-�Ulum),h.355-356).
Sejumlah tokoh sufi yang sangat luas pengetahuannya adalah Imam al-Ghazali dengan jumlah dan wawasan karya tulisannya yang sangat luas. Ibn �Arabi dengan penguasaan intelektual dan kebudayaan yang sangat luas di bidang mazhab dan filsafat, baik Islam maupun non-islam.
Abu Thalib Al-makki, salah seorang tokoh sufi, dengan mengutip dalil-dalil dari Al-Qur�an al-Karim, berpandangan bahwa mencari ilmu adalah wajib. Di dalam karyanya Qut al-Qulub terkandung banyak pendapat tentang kewajiban ilmu.
Di samping itu, ada ungkapan para sufi yang menegaskan bahwa awal ibadah kepada Allah adalah Ilmu. Apabila kamu berilmu maka kamu berma�rifah dan apabila kamu berma�rifah maka kau dapat beribadah, namun ibadah dan ma�rifah tidak akan berarti tanpa ilmu.
Dengan demikian, menurut penulis, sebagian sufi sebenarnya sangat menghargai ilm al-muktasab (yang diusahakan melalui proses belajar). Kalaupun ada yang tidak menghargai atau bahkan mengecam ilmu, maka itu dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Ini mungkin dikarenakan oleh beberapa faktor: Diantaranya adalah penghargaan mereka yang sangat besar kepada ilmu ladunni dan kecaman mereka terhadap akal. Ada juga kemungkinan, bagi kalangan sufi tertentu, dilarang menuntut ilmu lewat belajar dan membaca, karena dikhawatirkan akan membuka berbagai kelemahan ajaran-ajaran para syaikh. Sebagai contoh, banyak pengkaji tasawuf melihat bahwa larangan kaum sufi tertentu untuk mempelajari ilmu musthalah al-hadits, karena itu akan membuka kelemahan-kelemahan dalil yang dipergunakan. Ada juga yang berpandangan bahwa kecenderungan yang lebih kepada ilmu ladunni, karena kaum sufi lebih cenderung kepada jalan pintas, tetapi menurut penulis pandangan ini kurang dapat diterima karena untuk memperoleh ilmu ladunni pun dikalangan para sufi harus terlebih dahulu melalui jalan panjang di mana mesti terlebih dahulu membersihkan jiwa dari berbagai kotoran (penyakit-penyakit hati), setelah bersih barulah mendapat cahaya (ilmu ladunni) dari Tuhan.
3. Motivasi Ibadah
Pada tingkat tertentu, kaum sufi berkeyakinan bahwa ibadah yang benar adalah ibadah yang tidak mengharapkan imbalan apapuin dari Allah SWT. Tidak mengaharap syurga dan tidak pula karena takut neraka. Bahkan sementara sufi berkeyakinan bahwa ibadah itu adalah perbuatan Allah, bukan perbuatan seorang hamba. Siapa yang menyaksikan ibadah itu sebagai perbuatan taatnya, maka ia telah durhaka.
Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Rabi�ah Al-Adawiyah berikut :
�Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka..bukan pula karena ingin masuk surga... tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya�. �Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut pada neraka bakarlah aku didalamnya, dan jika kupuja Engkau karena mengharapkan surga, jauhkan aku daripadanya, tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu dariku�. (Harun Nasution, Falsafat dan Mitisesme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1973),h.72)
Dikatakan bahwa �sebuah jamaah melewat ke Rabi�ah yang sedang sakit. Mereka berkata : bagaimana keadaanmu? Ia menjawab, �demi Allah, aku tidak tahu sebab penyakitku, selain karena ditampakkan surga padaku sedemikian rupa lalu hati tertarik pada surga. Aku mengira bahwa Tuhanku cemburu padaku, lalu Dia menegurku. Dan untuk-Nya lah kerelaan ini.� (Syekh Abdur Rahman Abdul Khaliq, op.cit.,h.50)
Pernyataan ini menggambarkan bahwa dalam pandangan sufi sekedar tertarik kepada surga dinilai sebagai suatu kesalahan atau dosa yang karenanya layak mendapat hukuman dari Tuhan.
Kalau ini memang benar perkataan Rabi�ah Al-Adawiyah, mungkin pertanyaan berikut sesuai untuk dikemukakan : �Dari mana Rabi�ah tahu bahwa Allah cemburu kepadanya?�. Kemungkinan ungkapan ini, tidak sesuai keluar dari seorang yang merasa cinta kepada Allah, sebab di dalamnya tersirat unsur-unsur ketakabburan. Bukankah hanya Allah yang tahu bahwa Ia mencintai atau tidak mencintai seseorang. Bukankah merasa dicintai oleh Allah, apa lagi diungkapkan merupakan salah satu bentuk rasa besar diri yang sebenarnya ditakuti oleh kaum sufi.