Sepotong dosa dan kesalahan adalah penjajah. Sebab sebuah dosa adalah segel di atas catatan malaikat. Mengikat abadi. Membuat kita tidak leluasa. Dosa demi dosa adalah deposit untuk sebuah keputusan pengadilan, kelak di akhirat. Kecuali bila kita bertaubat dan Allah mengampuninya.
Rumusan tentang penjajahan oleh diri sendiri di mulai dari rasa bersalah. Legalitas tindakan dan perbuatan kita di mata hukum akan memberi penilaian benar atau salah. Orang salah selalu tidak bisa tenang, itu prinsip dasarnya. Itu sebabnya, Rasulullah menyebutkan, dalam hadistnya � Barang Siapa yang amal baiknya membuat hatinya senang, dan amal buruknya membuat dirinya sedih, maka dia itu adalah muslim�.
Maka segala keputusan untuk memilih salah, berdosa, dalam segala bentuknya, adalah keputusan untuk menjajah diri sendiri dengan model penjajahan yang sangat aneh. Sebab menjajah diri sendiri pada umumnya adalah membiarkan diri hanyut di bawa hawa nafsu. Sementara sisi-sisi tertentu dari tabiat kita memang menyukai hawa nafsu itu. Maka penjajahan oleh diri sendiri pun tampak luarnya terasa menyenangkan, happy, melambungkan perasaan kebebasan atas nama hak asasi. Padahal sejatinya itu semua membelenggu. Kebebasan yang merusak, bahkan dengan pembenar-pembenar keyakinan yang keliru, sesungguhnya adalah penjajahan.
Peluang penjajahan atas diri sendiri, oleh diri sendiri justru berawal dari kemerdekaan yang kita punya. Dan disitulah rumitnya ujian hidup ini. Kita merdeka, bebas memilih menjadi orang yang baik atau orang jahat. Tapi kemerdekaanya itu sendiri tidak salah. Allah mengilhamkannya kepada setiap jiwa, jalan kefajiran dan jalan ketaqwaannya. Pilihan untuk mengambil jalan keburukan, itulah kesalahannya.
Dalam kajian ruhani, dosa akan mengotori hati. Menumpulkan perasaan, memandulkan kepekaan, menghalangi kita untuk bisa merasakan indahnya kebersamaan Allah. Dosa akan membekaskan di dalam hati kita, debu-debu hitam, setitik demi setitik, atau sepetak demi sepetak. Setelah itu bila terus berlanjut, hati akan mengeras dan membatu, sementara warnanya hitam semakin kelam. Saat itu, �Tidak ada jalan lain bagi kekufuran untuk meninggalkan hati itu, dan tidak ada jalan lain bagi iman untuk memasuki hati itu,� begitu kata Rasulullah.
Tidak ada penderitaan melebihi pahitnya dijajah diri sendiri. Terlebih bagi orang-orang yang tidak menyadari. Orang yang tidak menyadari bahwa dosa , kesalahan, jalan hidup kotor, kemalasan adalah penjajahan atas diri sendiri akan mengalami situasi dimana jiwanya akan terasa kering dan gersang. Mungkin Ia bisa menghibur diri dengan nyanyian bahagia, atau mimpi-mimpi duniawi yang megah. Tapi sejatinya itu tidak menghapus kegalauan.
Seperti tangga keimanan yang menapak naik, dosa dan kesalahan pun punya tangga menurunnya. Semakin besar dosa itu, semakin pula menghujam ke bawah jurang kehinaan. Maka perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil, tidak semata karena jenis dan bentuknya, tapi juga karena efek kerusakan yang di timbulkannya.
Di batas ini kesadaran punya peran besar dalam mengantarkan kita menjadi manusia merdeka. Ya , kesadaran, pengakuan paling mendasar dari nurani dan suara hati. Orang-orang beriman bukan berarti tak pernah salah, atau tak pernah dosa. Bukan. Mereka pernah salah, pernah berdosa, tapi kesadaran yang selalu di jaga nyawa dan nyalanya, telah membuat orang mukmin punya sistem. Recovery yang handal. Allah SWT mengabarkan, � Sesungguhnya orang-orang bertaqwa bila mereka di timpa was-was dari syaithan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.� (QS Al-A�raf :201).
Ingat dan sadar . itu menjadi kunci kemerdekaan jiwa. Sebaliknya, penjajahan atas diri sendiri dengan segala bentuk dosa, bergelimang hawa nafsu, arogansi, kesewenang-wenangan, atau juga penindasan, akan semakin leluasa mendapat tempat, manakala kita tak punya banyak kesempatan untuk ingat. Itu rahasianya, mengapa orang-orang tidak peduli pada jalan kebaikan, akan selalu menghindari suasana sepi. Bila tidur harus diantar oleh dentuman musik. Pulang kerja mencari pelarian ke tempat-tempat ramai, heboh dan penuh goncangan-goncangan nafsu. Sebab, sejenak saja Ia punya saat-saat sepi dan sendiri hati nuraninya akan berontak, berkata tidak untuk segala penjajahan atas dirinya.
Sebaliknya, orang-orang mukmin adalah orang-orang merdeka yang sesungguhnya. Bahkan kisah Bilal bin Rabah adalah kisah tentang kemerdekaan sejati. Perlawanan terhadap tuannya bukan soal Rasialisme. Setidaknya dimasa perbudakan itu masih sah. Toh keislamannya tidak menggugurkan hak tuannya dalam soal perbudakan. Maka perlawananya adalah perlawanan terhadap segala hal yang menjajahnya, yaitu kekufuran dan kemusyrikan.
Begitupun kisah Ka�ab bin Malik adalah kisah tentang kemerdekaan sejati. Lelaki yang tertinggal dari perang Tabuk. Itu , benar-benar memilih jalan pembebasan. Pembebasan dari kemunafikan dan tentu saja adzab Allah yang mengerikan. Segalanya hanya bermula dari ketelodoran. Ka�ab sudah punya kendaraan untuk turut serta ke Tabuk. Tapi Ia menunda-nunda untuk belanja keperluan lainnya. Maka begitu Rasul dan kaum muslimin sudah berangkat, Ia baru mencari cari ke pasar. Tapi segalanya sudah terlambat. Tidak ada yang dia beli. Ia berfikir, besok masih ada waktu. Lalu akan menyusul. Tapi semua sia-sia. Begitupun lusa, ketika Ia berharap masih ada waktu untuk mencari perlengkapan yang di perlukan untuk perjalanan di hari yang panjang dan panas dan melelahkan. Tak ada yang bisa di beli, semuanya telah habis.
Ka�ab hanya bisa meratapi. Sebab di Madinah Ia tidak menjumpai siapa-siapa lagi. Kecuali beberapa orang yang nampak dari perangainya adalah orang-orang munafik. Ka�ab sangat sedih. Tapi Ia memilih kemerdekaanya. Dua kali. Dan Ia pun mendapat kemerdekaannya itu. Kali pertama ketika Ia memutuskan untuk jujur kepada Rasululllah, bahwa Ia tidak punya alasan yang membenarkan mengapa Ia telat. Dan kemerdekaan kedua adalah kesabarannya untuk menjalani hukuman. Tidak di tanya dan tidak diajak bicara selama lima puluh hari.
Tapi akhir dari semua itu, adalah ampunan dan pembebasan langsung dari Allah SWT. � Dan terhadap tiga orang yang di tangguhkan (penerimaaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit ( pula terasa ) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari ( siksa ) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka taubat dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah lah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Attaubah :118).
Pemisah antara merdeka dan terjajah sangatlah tipis. Pemisahnya ada pada hati kita sendiri. Saat kita memutuskan memilih antara berdosa dan beramal shalih, antara meniti jalan kebaikan atau tenggelam dalam kemungkaran. Antara menyerahkan hambaan kepada Allah atau kepada hawa nafsu sendiri.
Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan iman. Tak ada yang lebih merdeka dari orang beriman. Sebab Ia tidak merasa memiliki penjajah. Tidak juga orang lain. Maka kemerdekaan atas iman pun memberi seorang mukmin keberanian yang luar biasa. Ia tidak takut pada siapapun. Ia bahkan tidak peduli dengan caci maki, bila memang apa yang dilakukannya adalah benar. �Dan mereka tidak takut dengan cemoohan orang-orang yang mencemooh�.
Kemerdekaan memberi arti banyak fungsi kehidupan. Secara sosial, hanya orang-orang merdeka, yang bisa meniti jalan kedermawanan. Mereka orang-orang yang tidak harus merasa di jajah oleh duniawinya, oleh kekayaannya. Mereka meletakan uang di atas tangannya. Bukan memenuhi isi otaknya. Maka ia bisa berbagi, memberi, tetapi Ia juga merasa sah untuk menikmati apa yang halal dari karunia Allah. Ia mengerti kapan harus tampil dengan pantas, makan dengan pantas, sebagai penjabaran dari menunjukan �bekas-bekas� nikmat Allah.
Memulai langkah kemerdekaan, pertama kali justru dari batasan kemerdekaan itu. Maka menjadi sangat merdeka, artinya menjadi sangat tidak tergantung kepada apapun, kecuali kepada Allah SWT. Persis seperti prinsip tauhid kita, Laa ilaha illallah, Tiada Tuhan Yang Haq, selain Allah.
Hanya orang-orang merdeka yang mengerti bagaimana menata harap-harapannya, juga semangat dan pelariannya. Orang-orang terjajah, selalu kalah sebelum kakinya melangkah. Ada beban pada semua orang. Itulah resiko hidup. Tapi akan selalu ada penyikapan yang berbeda, antara oleh orang merdeka dan orang terjajah. Maka disini tak sekedar bicara tentang kehendak, tentang kemauan, atau sebatas sebuah teori tentang manajemen diri yang sudah umum. Di sini kita bicara tentang kesadaran, dan lebih dari itu, kita bicara tentang penemuan puncak kemerdekaan hakiki yang tak membelenggu.
sumber : Tarbawi
Rumusan tentang penjajahan oleh diri sendiri di mulai dari rasa bersalah. Legalitas tindakan dan perbuatan kita di mata hukum akan memberi penilaian benar atau salah. Orang salah selalu tidak bisa tenang, itu prinsip dasarnya. Itu sebabnya, Rasulullah menyebutkan, dalam hadistnya � Barang Siapa yang amal baiknya membuat hatinya senang, dan amal buruknya membuat dirinya sedih, maka dia itu adalah muslim�.
Maka segala keputusan untuk memilih salah, berdosa, dalam segala bentuknya, adalah keputusan untuk menjajah diri sendiri dengan model penjajahan yang sangat aneh. Sebab menjajah diri sendiri pada umumnya adalah membiarkan diri hanyut di bawa hawa nafsu. Sementara sisi-sisi tertentu dari tabiat kita memang menyukai hawa nafsu itu. Maka penjajahan oleh diri sendiri pun tampak luarnya terasa menyenangkan, happy, melambungkan perasaan kebebasan atas nama hak asasi. Padahal sejatinya itu semua membelenggu. Kebebasan yang merusak, bahkan dengan pembenar-pembenar keyakinan yang keliru, sesungguhnya adalah penjajahan.
Peluang penjajahan atas diri sendiri, oleh diri sendiri justru berawal dari kemerdekaan yang kita punya. Dan disitulah rumitnya ujian hidup ini. Kita merdeka, bebas memilih menjadi orang yang baik atau orang jahat. Tapi kemerdekaanya itu sendiri tidak salah. Allah mengilhamkannya kepada setiap jiwa, jalan kefajiran dan jalan ketaqwaannya. Pilihan untuk mengambil jalan keburukan, itulah kesalahannya.
Dalam kajian ruhani, dosa akan mengotori hati. Menumpulkan perasaan, memandulkan kepekaan, menghalangi kita untuk bisa merasakan indahnya kebersamaan Allah. Dosa akan membekaskan di dalam hati kita, debu-debu hitam, setitik demi setitik, atau sepetak demi sepetak. Setelah itu bila terus berlanjut, hati akan mengeras dan membatu, sementara warnanya hitam semakin kelam. Saat itu, �Tidak ada jalan lain bagi kekufuran untuk meninggalkan hati itu, dan tidak ada jalan lain bagi iman untuk memasuki hati itu,� begitu kata Rasulullah.
Tidak ada penderitaan melebihi pahitnya dijajah diri sendiri. Terlebih bagi orang-orang yang tidak menyadari. Orang yang tidak menyadari bahwa dosa , kesalahan, jalan hidup kotor, kemalasan adalah penjajahan atas diri sendiri akan mengalami situasi dimana jiwanya akan terasa kering dan gersang. Mungkin Ia bisa menghibur diri dengan nyanyian bahagia, atau mimpi-mimpi duniawi yang megah. Tapi sejatinya itu tidak menghapus kegalauan.
Seperti tangga keimanan yang menapak naik, dosa dan kesalahan pun punya tangga menurunnya. Semakin besar dosa itu, semakin pula menghujam ke bawah jurang kehinaan. Maka perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil, tidak semata karena jenis dan bentuknya, tapi juga karena efek kerusakan yang di timbulkannya.
Di batas ini kesadaran punya peran besar dalam mengantarkan kita menjadi manusia merdeka. Ya , kesadaran, pengakuan paling mendasar dari nurani dan suara hati. Orang-orang beriman bukan berarti tak pernah salah, atau tak pernah dosa. Bukan. Mereka pernah salah, pernah berdosa, tapi kesadaran yang selalu di jaga nyawa dan nyalanya, telah membuat orang mukmin punya sistem. Recovery yang handal. Allah SWT mengabarkan, � Sesungguhnya orang-orang bertaqwa bila mereka di timpa was-was dari syaithan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.� (QS Al-A�raf :201).
Ingat dan sadar . itu menjadi kunci kemerdekaan jiwa. Sebaliknya, penjajahan atas diri sendiri dengan segala bentuk dosa, bergelimang hawa nafsu, arogansi, kesewenang-wenangan, atau juga penindasan, akan semakin leluasa mendapat tempat, manakala kita tak punya banyak kesempatan untuk ingat. Itu rahasianya, mengapa orang-orang tidak peduli pada jalan kebaikan, akan selalu menghindari suasana sepi. Bila tidur harus diantar oleh dentuman musik. Pulang kerja mencari pelarian ke tempat-tempat ramai, heboh dan penuh goncangan-goncangan nafsu. Sebab, sejenak saja Ia punya saat-saat sepi dan sendiri hati nuraninya akan berontak, berkata tidak untuk segala penjajahan atas dirinya.
Sebaliknya, orang-orang mukmin adalah orang-orang merdeka yang sesungguhnya. Bahkan kisah Bilal bin Rabah adalah kisah tentang kemerdekaan sejati. Perlawanan terhadap tuannya bukan soal Rasialisme. Setidaknya dimasa perbudakan itu masih sah. Toh keislamannya tidak menggugurkan hak tuannya dalam soal perbudakan. Maka perlawananya adalah perlawanan terhadap segala hal yang menjajahnya, yaitu kekufuran dan kemusyrikan.
Begitupun kisah Ka�ab bin Malik adalah kisah tentang kemerdekaan sejati. Lelaki yang tertinggal dari perang Tabuk. Itu , benar-benar memilih jalan pembebasan. Pembebasan dari kemunafikan dan tentu saja adzab Allah yang mengerikan. Segalanya hanya bermula dari ketelodoran. Ka�ab sudah punya kendaraan untuk turut serta ke Tabuk. Tapi Ia menunda-nunda untuk belanja keperluan lainnya. Maka begitu Rasul dan kaum muslimin sudah berangkat, Ia baru mencari cari ke pasar. Tapi segalanya sudah terlambat. Tidak ada yang dia beli. Ia berfikir, besok masih ada waktu. Lalu akan menyusul. Tapi semua sia-sia. Begitupun lusa, ketika Ia berharap masih ada waktu untuk mencari perlengkapan yang di perlukan untuk perjalanan di hari yang panjang dan panas dan melelahkan. Tak ada yang bisa di beli, semuanya telah habis.
Ka�ab hanya bisa meratapi. Sebab di Madinah Ia tidak menjumpai siapa-siapa lagi. Kecuali beberapa orang yang nampak dari perangainya adalah orang-orang munafik. Ka�ab sangat sedih. Tapi Ia memilih kemerdekaanya. Dua kali. Dan Ia pun mendapat kemerdekaannya itu. Kali pertama ketika Ia memutuskan untuk jujur kepada Rasululllah, bahwa Ia tidak punya alasan yang membenarkan mengapa Ia telat. Dan kemerdekaan kedua adalah kesabarannya untuk menjalani hukuman. Tidak di tanya dan tidak diajak bicara selama lima puluh hari.
Tapi akhir dari semua itu, adalah ampunan dan pembebasan langsung dari Allah SWT. � Dan terhadap tiga orang yang di tangguhkan (penerimaaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit ( pula terasa ) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari ( siksa ) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka taubat dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah lah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Attaubah :118).
Pemisah antara merdeka dan terjajah sangatlah tipis. Pemisahnya ada pada hati kita sendiri. Saat kita memutuskan memilih antara berdosa dan beramal shalih, antara meniti jalan kebaikan atau tenggelam dalam kemungkaran. Antara menyerahkan hambaan kepada Allah atau kepada hawa nafsu sendiri.
Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan iman. Tak ada yang lebih merdeka dari orang beriman. Sebab Ia tidak merasa memiliki penjajah. Tidak juga orang lain. Maka kemerdekaan atas iman pun memberi seorang mukmin keberanian yang luar biasa. Ia tidak takut pada siapapun. Ia bahkan tidak peduli dengan caci maki, bila memang apa yang dilakukannya adalah benar. �Dan mereka tidak takut dengan cemoohan orang-orang yang mencemooh�.
Kemerdekaan memberi arti banyak fungsi kehidupan. Secara sosial, hanya orang-orang merdeka, yang bisa meniti jalan kedermawanan. Mereka orang-orang yang tidak harus merasa di jajah oleh duniawinya, oleh kekayaannya. Mereka meletakan uang di atas tangannya. Bukan memenuhi isi otaknya. Maka ia bisa berbagi, memberi, tetapi Ia juga merasa sah untuk menikmati apa yang halal dari karunia Allah. Ia mengerti kapan harus tampil dengan pantas, makan dengan pantas, sebagai penjabaran dari menunjukan �bekas-bekas� nikmat Allah.
Memulai langkah kemerdekaan, pertama kali justru dari batasan kemerdekaan itu. Maka menjadi sangat merdeka, artinya menjadi sangat tidak tergantung kepada apapun, kecuali kepada Allah SWT. Persis seperti prinsip tauhid kita, Laa ilaha illallah, Tiada Tuhan Yang Haq, selain Allah.
Hanya orang-orang merdeka yang mengerti bagaimana menata harap-harapannya, juga semangat dan pelariannya. Orang-orang terjajah, selalu kalah sebelum kakinya melangkah. Ada beban pada semua orang. Itulah resiko hidup. Tapi akan selalu ada penyikapan yang berbeda, antara oleh orang merdeka dan orang terjajah. Maka disini tak sekedar bicara tentang kehendak, tentang kemauan, atau sebatas sebuah teori tentang manajemen diri yang sudah umum. Di sini kita bicara tentang kesadaran, dan lebih dari itu, kita bicara tentang penemuan puncak kemerdekaan hakiki yang tak membelenggu.
sumber : Tarbawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar